Rabu, 10 Februari 2010
Tak Punya Pilihan Lain Warga BTP Buang Sampah Di Areal Persawahan
Masih relatif sangat minimnya armada pengangkut sampah yang di standby kan Dinas Kebersihan di Kecamatan Tamalanrea, akhir-akhir ini mulai berdampak menyulitkan masyarakat BTP untuk membuang sampah.
Akibatnya, sampah mulai tampak berserakan di sejumlah titik di kompleks perumahan padat penduduk ini. Bahkan warga setempat, terkesan tidak lagi punya pilihan lain, kecuali harus membuang sampah di sekitar areal persawahan terdekat dari rumah mereka.
Meski saat akan membuang sampah, sejumlah warga mengaku harus rela menyeberangi drainase untuk menghindari sampah buangan mereka jatuh berserakan dan mengotori kawasan drainase di sekitar lokasi pembuangan sampah.
Dalam kaitan itu, warga BTP meminta adanya perhatian serius dari Pemerintah Kota Makassar terkait penanganan kebersihan di kompleks Bumi Tamalanrea Permai. Selain itu, mereka juga menuntut segera dibenahinya drainase yang selama musim penghujan ini kerap menjadi pemicu terjadinya rendaman banjir dan rusaknya sejumlah ruas jalan di kompleks BTP.
Sepertihalnya hasil pantauan wartawan Pedoman di depan SLTP Negeri 30 Makassar yang kondisi kerusakan jalannya terpantau sangat parah, bila dibandingkan dengan ruas-ruas jalan lain di kompleks tersebut.(fadly syarif)
Potret Kehidupan Masyarakat Miskin Dibalik Megah Perumahan Elite Kota Makassar
Pagi itu, sang mentari pagi baru saja menyembulkan cahayanya, saat media Pedoman menyambangi sebuah bangunan gubuk kayu, berdinding gamacca dengan ukuran 5 X 6 M yang terletak jauh tersisih dibalik megah bangunan perumahan elit kawasan Bumi Tamalanrea Permai.
Entah mengapa, hari itu secara tidak sengaja mata wartawan Pedoman tertuju pada pemandangan bangunan rumah kayu yang dihuni oleh empat anggota keluarga itu, yakni : Sarina, Sartika, ammang, dan Sapri dan menantunya.
Berangkat dari sebuah bisikan keprihatinan seorang manusia bernaluri sosial, wartawan Pedoman pun mencoba mendekati obyek gambar untuk bisa menguak lebih dalam tentang tabir kehidupan keseharian penghuni rumah kecil itu.
Dan dari hasil investigasi Pedoman, terungkaplah sebuah kisah nyata tentang realita kehidpan masyarakat miskin kota Makassar, yang selama ini terbungkus dibalik indahnya penataan Lapangan Karebosi, Pantai Losari, sampai bangunan flay over di ruas Jl. Urip Sumoharjo.
Berikut wartawan Pedoman menurunkan hasil investigasinya untuk pembaca, langsung dari kawasan Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP,red).
Bercita-cita melakoni kehidupan yang jauh lebih baik di kota Daeng, Makassar, menjadi inspirasi awal seorang Sarina (50 thn) bertolak meninggalkan kampung halamannya, Kabupaten Je’neponto tercinta. Salah satu kabupaten, yang terletak tepat di bagian selatan Provinsi Sulawesi-Selatan, dengan kondisi geografis alamnya yang bagi kebanyakan orang dikenal sangat gersang.
Sarina ditemani suami dan dua orang anaknya, pergi meninggalkan kampung halaman bermodalkan dua buah tempat tidur. salah satunya, tempat tidur besi bongkar pasang, berikut, 1 unit televisi 21 inc, kipas angin, lemari plastik susun, pesawat VCD, dan sepasang speaker.
Sesampainya di kota Makassar, Sarina pun mencoba melalui kehidupan kesehariannya dengan berpindah dari satu rumah ke rumah kosong lainnya yang pada saat bersamaan, belum dihuni pemiliknya atau pun rumah milik BTN yang belum laku terjual.
Akan tetapi, setelah rumah yang mereka tempati laku terjual dia pun harus rela memulai kehidupan baru dengan menempati sebuah pemukiman kumuh yang berdiri di atas pinggiran areal persawahan rawan banjir.
Bahkan lebih dari itu, hampir setiap hari dia bersama anak-anaknya juga harus rela menghirup udara tidak segar dari tempat pembuangan sampah yang letaknya tidak jauh dari bangunan gubuk kayu tempatnya berdiam.
Menurut penuturan Sarina, sejak meninggalkan kampung halamannya sampai hari ini, mereka terus mencoba bertahan hidup walau hanya dengan mengandalkan pendapatannya sebagai seorang buruh cuci pakaian dari rumah ke rumah di sekitar Kompleks Bumi Tamalanrea Permai (BTP, red) dengan jumlah 3 orang pelanggan.
Dari tetesan keringatnya sebagai seoarang buruh cuci pakaian, Sarina mengaku, kadang bisa mendapatkan uang sampai Rp. 300 Ribu perbulannya. Uang hasil kerja kerasnya inilah yang kemudian digunakan untuk bisa menutupi biaya kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Biar pun jumlahnya terbilang sangat kecil, tetapi Sarina dan anggota keluarga tetap mensyukuri rezeki itu, sebagai pemberian Sang Khalik kepada hambanya. Yang terpenting, rezeki diperoleh dengan cara halal dan mulia, tanpa harus mengemis dan mencuri harta benda milik orang lain.
Beruntung, sepeninggal suaminya ke Malaisya dua setengah tahun lalu yang hingga kini tak ada kabar beritanya, Sarina tetap ditopang dari pendapatan Sapri. Anak mantunya, yang bekerja sebagai buruh bangunan dengan pendapatan pas-pas-an Rp. 200 ribu per bulan. Itu pun, kalau pekerjaan anak mantunya lagi tidak sepi.
Satu hal yang disyukurinya, karena dari pendapatan pas-pas-annya, Sapri bersama Sartika (istrinya), masih dapat menyisihkan uang simpanan. Sampai akhirnya, mereka bisa membayar cicilan sebuah motor Honda, Merk Revo yang rencananya akan digunakan Sapri berjualan ikan keliling.(fadly syarif)
Langganan:
Postingan (Atom)